Cinta Mati

13 4 0
                                    

Di kegelapan malam ini, aku gambarkan betapa indahnya dirimu. Perihal bibir yang nampak membiru, perihal kulit putih yang nampak memucat, pun perihal mata yang terpejam begitu erat. Di keheningan malam ini, aku sampaikan pada bintang yang bertaburan di atas sana. Perihal pelukmu yang terasa begitu hangat, perihal bau tubuhmu yang teramat aku sukai bercampur dengan bau serupa besi berkarat.

Aku tersenyum, tak lagi menangisi keputusanmu untuk pergi meninggalkanku. Sebab sekarang, aku tahu bahwa kau tak akan pergi kemana-mana lagi. Perdebatan yang tadi sempat terjadi, sekarang sudah terhenti. Dan bising itu, telah terganti dengan sunyi. Aku bahagia, Sayang. Teramat bahagia, hingga rasanya aku akan marah pada siapapun yang coba merebutmu dariku lagi. Termasuk Tuhan, bahkan jalang yang kau sebut sebagai seseorang yang akhir-akhir ini mengisi hatimu.

Sayang, masih ingatkah kau pada pertemuan pertama kita waktu itu? Senyumanmu yang teramat manis, manik matamu yang berbinar, suaramu yang terdengar begitu menenangkan. Aku pikir kau hanyalah lelaki dengan kepribadian dingin, yang selalu terfokus pada game di ponsel. Tapi ternyata aku salah, sebab setelah mengenalmu, aku tahu bahwa kau adalah sosok yang begitu menyenangkan dengan lelucon yang tak pernah habis dan tentu saja selalu membuatku tertawa terbahak-bahak.

Hingga akhirnya, kisah kita mengalir begitu saja. Seperti kisah picisan pada umumnya; berkenalan, meluangkan waktu untuk saling bertukar pesan, jalan-jalan, dan akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun setelah itu, jarak memisahkan kita. Kau, pergi meninggalkanku untuk kuliah di luar kota.

Kau bilang, "aku mencintaimu, Irabel. Cinta mati. Tak akan pernah pergi. Akan selalu berada di sisimu," lalu aku yang saat itu menangis, hanya bisa terdiam dengan manik mata yang lekat menatapmu sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Bagaimana kalau suatu saat nanti kau tiba-tiba pergi meninggalkanku, Gean?"

Saat itu, kau tersenyum begitu manis. Matamu nampak menyipit, persis seperti bulan sabit. Bibirmu bergerak, mengucapkan kata demi kata yang menjadi seumpama mantra yang membuatku stagnan beberapa detik dengan jantung yang berdegup begitu kencang. "Kau boleh membunuhku, Sayang. Sebab aku yakin, kau adalah satu-satunya wanita yang aku cintai."

Tapi Gean, kenyataan yang aku hadapi sekarang adalah kebohongan. Kau tak benar-benar menepati janjimu untuk tetap berada di sampingku, tetap mencintaiku, dan hidup bersama denganku. Sebab ada seseorang yang mengisi hatimu, orang baru yang ternyata telah lama menggantikan posisiku. Gean, apakah wanita itu juga mendapatkan janji yang sama dengan yang kau ucapkan padaku?

Maka hari ini, setelah sesi bercinta kita yang terasa lebih membara dari sebelum-sebelumnya, aku mewujudkan semua janji-janji yang kau ucapkan waktu itu. Bersama dengan hati yang telah tercabik-cabik, sebab kau ternyata tak jauh beda dengan bajingan-bajingan yang menawarkan kebahagiaan padahal semuanya hanyalah bualan. Pemanis pada suatu hubungan, begitulah.

Pun setelah kau nampak terlelap, aku beranjak dari ranjang dan mengambil tuxedo di dalam lemari. Memakaikannya padamu, agar keindahanmu bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya. Lantas setelahnya, aku berbaring di sebelahmu sembari memberikan sebuah pelukan hangat untuk tubuhmu yang terasa dingin.

Kita akan bahagia di keabadian, Sayang. Kita akan bersama selamanya, dalam takdir yang telah tergariskan untuk kita berdua. Kemudian, aku melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan padamu tadi; menusukkan pisau tepat pada leherku hingga darah mengalir deras menyatu bersama dengan milikmu. Sebelum akhirnya, aku terpejam bersama dengan tubuh yang setia memberikan pelukan.

Gean, bukankah kita teramat cocok untuk menggantikan posisi Romeo dan Juliet?

Fin


The Whalien ClubWhere stories live. Discover now