Kecantikan Abadi (1)

20 5 0
                                    

Gaun merah yang membalut tubuhnya, nampak begitu pas pada tubuh moleknya. Kaki dengan sepatu bertumit berwarna hitam yang melangkah, seiring dengan musik yang mengalun pelan. Rambut hitam sepunggung yang tergerai indah, mengkilap di terpa cahaya lampu yang berada di atas kepalanya. Semua mata, kini tertuju pada wanita itu. Bibir dengan gincu merah merona itu, kini tersenyum begitu manis. Kelopak mata dengan bulu mata panjang nun lentik itu, mengedip pelan seolah tengah menggoda kaum adam untuk terperosok pada pesonanya.

Gelas kaca dengan wine di tangan, sesekali bercumbu dengan bibirnya yang tentu saja membuat semua mata menatap iri ke arah gelas itu. Suara bisikan terdengar ketika kaki jenjangnya menapaki lantai, berjalan dengan dagu sedikit terangkat. Nampak angkuh di mata para wanita, namun nampak anggun di mata para pria. Begitulah Arum, tak pernah ada kata lain kecuali mempesona dan membuat semua iri padanya. Beberapa wanita yang terlihat kesal sebab pasangannya kini begitu fokus pada sosok itu, nampak bergunjing dengan mata menyorot tajam.

Bagi Arum, datang ke acara yang penuh dengan orang-orang seperti ini bukanlah suatu hal yang baru untuknya. Menjadi pusat perhatian adalah tujuan hidupnya, pun mendapat pujian adalah impiannya. Bahkan, Arum pernah mendengar kalau sebuah keluarga pernah hancur karena dirinya. Tapi, Arum tidak pernah menganggap itu sebagai sebuah kesialan. Menjadi cantik adalah anugrah yang diberikan oleh sang pencipta, yang tentu saja tidak semua orang akan mendapatkan berkah itu. Bukan sombong, tapi faktanya begitu.

Semua orang menyukainya, mengaguminya, menyanjung dirinya, bahkan memuja dirinya. Ketika ada yang membenci, maka Arum hanya tersenyum sembari berkata; Ah, itu salahmu sendiri karena tidak punya wajah cantik sepertiku. Kenapa, kau iri, ya? Yang tentu saja, berakhir dengan tatapan tajam lain yang tertuju padanya. Bukan hanya lawan jenis yang menyukainya, tapi juga lawan jenis yang mempunyai orientasi seksual lain. Tapi tidak, tentu saja Arum akan menolak sembari tersenyum dan mengatakan bahwa dia tidak suka berbagi lendir dengan sesama jenis. Dia, menyukai bagaimana tubuh gagah berada di atasnya dan menghujam sampai berkeringat lalu tertidur karena kelelahan.

Berdiri sembari menyandarkan tubuh di sebuah pilar besar di ruangan itu, Arum terdiam sembari menikmati bagaimana rasa manis bercampur pahit menyentuh lidah dan melesak masuk ke dalam kerongkongan. Tak ingin menjadi pusat perhatian lagi, sebab sudah tidak lucu lagi melihat wajah wanita-wanita itu. Matanya begitu fokus memperhatikan tubuh-tubuh itu menari di atas lantai, sesekali dia terkekeh ketika para pria nampak kewalahan mencoba lari dari pasangannya dan mengajak Arum untuk berdansa. Tentu saja, dia akan menolaknya.

Berada di acara ulang tahun salah satu anak dari tuan tanah, menjadi tamu istimewa yang dijemput langsung oleh ajudan tuan muda tampan yang terkenal di kota Pearl Garden. Tentu saja, Arum tengah menunggu pemeran utama pria membawanya ke tengah ruangan dan menjadikannya sebagai ratu yang mencuri perhatian. Tapi setelah tiga puluh menit menunggu dan sudah puas melihat wajah kesal dengan riasan berlebihan itu, Arum tak kunjung menemukan pria itu. Entahlah, Arum tidak mengerti kenapa pria itu tak kunjung datang dan membuat dirinya harus menunggu begini.

Namun, tepat pada menit ke lima belas dirinya berdiri di sana, pria itu datang dengan setelan jas hitam dan dalaman putih bersama dasi kupu-kupu berwarna senada dengan jas yang dia pakai. Tampan. Tentu saja. Dan Arum langsung tersenyum, menyengir lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya. Dalam hati, dia tengah kegirangan sebab kini pria itu ada di sana. Memperhatikannya, begitu lekat bahkan hampir terjatuh ketika berjalan dan tak sengaja menabrak salah satu tamu undangan. Pria itu meminta maaf berulang kali pada orang yang tadi dia tabrak, lantas setelahnya kembali fokus pada si wanita yang nampak tertawa kecil.

Pun semua mata kini fokus pada sang pemeran utama, berdiri bersama alata pengeras suara di tangan dan berdehem berulang kali. Manik matanya nampak berkeliaran, mencari-cari keberadaan seseorang lantas tersenyum dan kembali berdehem. Entahlah, rasanya tenggorokan pria itu mendadak jadi kering. Gugup, barangkali begitu. Setelah memastikan suaranya cukup bagus untuk mengucapkan kata sambutan sebelum acaranya resmi di mulai, pria itu masih memfokuskan manik sehitam jelaga itu pada Arum yang berada di barisan paling belakang kerumunan para tamu.

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now