Pesawat yang Tak Pernah Mendarat

11 4 2
                                    

Awan terlihat cantik di atas sini, mereka bergumpal seperti permen kapas yang ada di pasar malam yang sering Ajeng beli sewaktu papanya masih tinggal bersama mereka. Ah, papa. Bocah itu mendengus, bibirnya terlihat mengerucut karena sebal. Wanita yang duduk di sebelahnya kini menoleh, pun menyunggingkan sebuah senyuman manis ke arahnya.

"Ajeng kenapa?" tanya sang mama.

Bocah perempuan itu menunduk hingga poni yang menutupi keningnya turun sampai menutupi mata, sang mama lantas mengulurkan tangan guna menyibak rambut sang anak yang mulai memanjang. Senyum masih terukir pada wajah wanita itu, tapi sang anak masih memperlihatkan wajah kusutnya.

"Ajeng kangen Papa, Ma. Kitanya kapan sampai ke tempat Papa?" tanya bocah itu kemudian.

Ya, dia pergi jauh-jauh sampai harus naik pesawat karena kangen pada sang papa yang bekerja di luar kota. Kalau sudah bertemu nanti ingin peluk terus, pergi jalan-jalan, dan tentu saja membeli permen kavad di pasar malam. Di sana pasti ada pasar malam, pikir bocah itu. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa bertemu dengan sang papa yang sangat dia sayang. Kalau dulu hanya bisa bicara lewat ponsel, nanti kalau sudah tiba mereka akan bersenda gurau secara langsung. Urgh, pasti sangat menyenangkan.

Wanita itu terdiam, seolah ada jutaan ketakutan yang mendadak hinggap pada ekspresi wajahnya. Beberapa menit, wanita itu masih bergeming hingga akhirnya kepala itu mendongak. Matanya menatap ke arah jendela pesawat yang terbuka memperlihatkan lautan awan di luaran sana. Kedua manik matanya berbinar, tapi bukan binar bahagia yang terlihat melainkan sebuah binar kesedihan. Sang mama kemudian mengelus pucuk kepala Ajeng yang terdiam menanti jawaban sang mama.

"Kita belum sampai, Nak. Tunggu sebentar lagi, ya?" ujarnya menenangkan.

Ajeng lagi-lagi mendengus, tangannya kemudian meremat jaket merah muda yang dia pakai dengan kuat sembari menggigit bibirnya gelisah. "Kenapa kita lama sekali, Ma? Sudah dua hari kita di dalam pesawat,"

Wanita itu tentunya tahu bahwa tak ada jawaban yang tepat untuk dia berikan sebagai penenang bagi anaknya yang tak tahu apa-apa. Rasanya ingin menangis, berteriak, dan menyalahkan takdir yang sudah membuat mereka terjebak di tempat itu. Namun, sang wanita tetap menyunggingkan bibirnya membentuk sebuah kurva kecil yang tak sampai menyentuh ujung matanya.

"Karena pesawat kita tak pernah mendarat, dia terus terbang menuju tempat yang tak kita ketahui ke mana tujuannya."

Sebuah jawaban yang tentu saja tak memuaskan, Ajeng bahkan terlihat mengerutkan keningnya. "Apa Bapak Pilot lupa arah ke tempat Papa, Ma?"

Menggeleng, wanita itu kemudian meraih tubuh anaknya untuk dipeluk. "Mungkin," ujarnya, "mungkin Bapak Pilot lupa arah ke tempat Papa." lanjutnya mengulang ucapan sang anak.

Ajeng kemudian terdiam, kedua manik matanya menoleh ke arah jendela dengan kening yang masih setia mengerut bingung. Mungkin sebentar lagi mereka sampai, pikirnya. Sementara para penumpang lain dan para awak pesawat yang menemani mereka juga bergeming di tempat mereka dengan manik menatap ke arah luar.

Highlight News
Potongan tubuh para korban belum ditemukan, para pencari masih melakukan pencarian hingga sekarang.

Fin

In memorial of SJY182
Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kelapangan dada.

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now