The Father

25 5 0
                                    

Hari ini awan kelabu nampak bergelayut di atas sana, sementara matahari yang tadi pagi datang telah lama menghilang beberapa jam yang lalu. Seolah semesta ikut berduka atas kepergian sosok yang telah lenyap bersama peti di dalam tanah di bawah pusara dengan bunga-bunga yang bertebaran di atasnya. Beberapa detik tatkala kaki melangkah pergi, hujan malah turun membasahi sekujur tubuh seolah tengah menangisi sosok itu.

Tubuh kaku dengan kaki yang tak mampu dibawa kembali untuk berjalan, bibir yang terkatup rapat, pun bengkak di bawah mata. Ibu nampak kacau dengan pakaian serba hitamnya. Ah, iya. Lelaki yang sudah terbujur kaku ditelan bumi itu adalah suami tercintanya. Terkadang aku bertanya-tanya pada diri sendiri perihal kenapa hitam selalu diartikan dengan duka, sementara merah adalah sebuah kebahagiaan. Padahal darah berwarna merah. Aku juga suka dengan warna hitam.

Tak ingin bertanya apapun lagi, aku lekas melangkahkan kaki untuk pergi meninggalkan pemakaman sekaligus membawa pergi jutaan rasa pedih yang bercokol di dalam kepala. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya aku akan kehilangan satu kegilaan di dunia ini. Aku bahkan masih ingat bagaimana tangan itu suka sekali membelai tubuhku, membawaku pada lubang ketakutan, dan membuatku benar-benar tersiksa.

Untuk apa menangisi lelaki yang suka melecehkan anaknya sendiri?

Waktu berlalu dan sebulan sudah setelah kepergian lelaki yang bahkan enggan untuk aku panggil ayah itu. Semuanya nyaris tak berubah. Ibu masih saja gampang dibodohi, masih saja suka menangisi, dan masih saja suka menyakiti diri sendiri. Terkadang, hidup di dunia ini kita butuh sisi jahat untuk bertahan. Hanya saja, barangkali cinta dan omong kosongnya adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu membawa manusia pada harapan semu.

Hari ini, hari di mana Ibu membawa lelaki lain. Kupikir, dia akan menjadi ayah kesekian setelah ayah-ayah lain yang sudah mati itu. Setelah beberapa jam terkurung di dalam kamar seperti manusia pesakitan, aku kembali mendengar suara itu. Suara menjijikkan yang akan selalu aku dengar tatkala ibuku membawa lelaki lain ke rumah, sebelum akhirnya dia mengatakan akan menikah dengan lelaki itu.

Namun, calon ayah yang kali ini ibuku bawa nampak berbeda. Sosoknya terlihat lebih menawan dengan senyum manis dan lesung pipi pada kedua pipinya. Dia terlihat memukau, seumpama berlian yang berkilauan di terpa sinar matahari. Aku tertegun, dalam hening aku menatap padanya yang kini berdiri di hadapanku sembari menyodorkan tangannya.

"Aku harap kalian bisa akrab," kata ibuku sembari tersenyum lebar.

"Tentu, Bu." Jawabku kemudian.

Singkat cerita, pernikahan ibuku dan ayah baruku kini berlangsung sederhana sebab wanita itu bilang dia tidak mau mengundang banyak orang yang pada akhirnya hanya akan menggosip tentang dirinya. Walaupun begitu, pernikahan tetaplah terlihat mewah seperti pernikahan sebelumnya.

Malamnya, aku tersentak tatkala aku terbangun dalam pelukan seseorang. Mataku menoleh, lalu terdiam sebentar guna mencerna apa yang terjadi. Pakaianku sudah tak ada lagi, begitu pula dengan sosok yang terpejam di sebelahku. Sial, apa dia tak jauh berbeda dengan ayahku yang lain?

"Mimpi buruk?" Tanyanya yang tiba-tiba saja sudah terbangun dengan suara serak.

"Apa yang kau lakukan padaku?" Tanyaku balik alih-alih menjawab apa yang tadi dia tanyakan.

Di bawa temaram lampu kamar, aku melihat ada kerutan pada keningnya. "Apa maksudmu, Sayang?"

Aku tersentak kaget, lantas buru-buru bangkit dari tempatku, dan membiarkan tubuh telanjangku terekspos. "Gila kau! Bagaimana bisa kau memanggilku dengan sebutan itu setelah meniduri putrimu sendiri!"

"Putri?" Tanyanya dengan kening berkerut bingung, "apa maksudmu?"

Aku terdiam, pun kembali melangkahkan kaki tatkala melihatnya mencoba mendekat padaku. Tanganku yang bebas meraih apa saja yang bisa aku jadikan sebagai perlindungan, lantas mengarahkan botol parfume milik ibu.

"Hey, tenangkan dirimu dulu!" Serunya kemudian, tapi aku tak mau mendengarkan, dan malah melemparnya dengan botol parfum tadi.

Darah nampak mengalir melewati pelipis, sementara bibirnya terdengar meringis pelan. "Ada apa denganmu?" Tanyanya lagi terdengar frustasi.

"Ternyata kau tak jauh berbeda dengan laki-laki lain! Dasar sialan!" Teriakku.

Lalu, dalam satu kedipan mata aku mengarahkan gunting yang tadi aku temukan di atas meja rias milik ibu. Tubuhnya yang tak sempat mengelak langsung terjatuh dengan ringisan yang terdengar cukup jelas, pun darah yang mengalir pada perutnya. Aku terdiam, lantas terduduk sembari menatap pada kedua tangan yang sudah menusukkan gunting pada lelaki itu.

Setelah itu, aku terjatuh pingsan, dan aku melupakan semua yang terjadi. Seolah ada begitu banyak hal yang bercokol di kepala dan menumpuk bak gunung berapi yang siap memuntahkan lava panasnya. Tatkala membuka mata, aku menemukan diriku yang terikat di atas sebuah kasur dengan ruangan yang didominasi oleh warna putih.

Pembunuhan yang terjadi di kompleks perumahan mewah diduga terjadi akibat pelaku mengidap Dissociative Identity Disorder atau sering disebut sebagai kondisi seseorang yang memiliki kepribadian ganda. Pelaku sekarang berada di rumah sakit jiwa untuk melakukan pengobatan.

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now