Anak Laki-laki

6 3 0
                                    

"Kau baik-baik saja?"

Laki-laki hanya terdiam, ujung bibirnya terangkat sedikit membentuk sebuah senyum miris dengan ekspresi wajah yang terlihat hancur. Entahlah, dia bahkan tak terlalu paham kenapa orang-orang suka sekali menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah jelas ada di depan mata.

Rasanya ingin berteriak dan mengatakan bahwa dia tidak mungkin baik-baik saja saat di depan matanya ada gundukan tanah tempat di mana sang ibu bersemayam. Dia ditinggalkan dalam semua penyesalan yang tak berujung, bahkan waktu saja enggan untuk kembali membawanya ke masa di mana sosok sang ibu masih berdiri dan berceloteh untuk menyuruhnya berhenti bermain hujan.

Sayangnya, semesta tak pernah memberitahu kapan manusia akan pergi. Terkadang bertanya-tanya, sebenarnya semesta itu kejam atau manusianya sendiri yang terlalu naif untuk mempercayai bahwa esok pasti akan tetap ada.

"Hujannya turun dengan lebat," kata sosok itu lagi.

Si laki-laki kemudian tersenyum dan mengangguk, tangannya tengadah hingga rintik hujan menggenang pada telapak tangan. "Aku tahu," jawabnya.

"Kalau tahu, kenapa tak berteduh?"

"Agar Ibu memanggilku dan mengomel seperti dulu,"

Sosok itu hanya terdiam, bibirnya terkatup rapat dengan kedua manik menatap si laki-laki dengan lekat. "Tapi ibumu sudah pergi,"

Si laki-laki tak menjawab, kepala yang tadi menunduk sembari menatap rintik hujan kini mendongak dan mengalihkan atensinya menatap sosok itu. "Ternyata menjadi dewasa tak menyenangkan, ya, Bu?"

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now